Senin, 29 Juli 2013

Kyai An Vs Bupati Waluyo

KYAI AN Vs  BUPATI WALUYO

Ahad malam Senen, 30 Juni 2013, setelah isya’ para undangannya Gus Fuad sudah mulai berdatangan, on time, di Ponpes Tanggir. Mereka adalah para alumni pesantren, warga Tanggir dan juga Pengurus Raudlotul Ulama (RU) setempat. Mereka diminta oleh putra KH. Munawir (alm) itu untuk ikut menyambut Syeh Mohamad Ismail dari Mekah yang mengunjungi ponpes tersebut. Mereka disambut oleh KH. Abu Mansur, Gus Ahsin, Gus Fathurrohman dan para asatidz. Sedangkan Gus Fuad sendiri, dengan sesama alumni Mekah, ikut menjemput Syeh itu di Bandara Juanda Surabaya.
Tampak hadir dalam acara yang diberi label ‘Halaqoh ‘Ammah itu, Kepala Desa Tanggir, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan beberapa pengurus Ranting RU se_kecamatan. Namun Bupati Waluyo yang rencananya hadir dan Kyai Ansorin (selanjutnya ditulis Yai An) ketua RU tingkat kecamatan tampak tidak  hadir di tengah mereka. Ketidakhadiran Bupati yang sudah bolak-balik haji plus dan umroh itu, menurut ajudannya, ada urusan mendadak di Istana Negara, Jakarta.
Acara yang baru pertama kali diadakan di ponpes tersebut, kedatangan seorang ulama besar dari Timur Tengah, ditempatkan di serambi Masjid al_Makmur di lingkungan ponpes. Model acaranya dibentuk ala Masjidil Haram, lesehan. Para undangan duduk di atas permadani warna merah dan hijau mengelilingi sepasang meja dan kursi yang akan ditempati Syeh. Menurut rencana sebelumnya, acara yang latar backgroundnya tertulis ‘Marhaban Ahlan Wasahlan Bikhudluri Masahatis Syeh Mohamad Ismail Zainul Maki_y …,’ itu akan digelar pada pukul 19.30.
Tepat pukul 21.30, iring-iringan mobil Alphard, Inova dan APV datang memasuki gerbang ponpes. Tidak berselang lama, gurunya Gus Fuad itu keluar dari mobil yang paling mewah dan langsung menuju ke kursi yang sudah disiapkan. Lalu memimpin doa tampa memberi ular-ular (mauidhoh hasanah) terlebih dahulu. Susunan acara yang dirancang sebelumnya: sambutan sohibul bait oleh Gus Ahsin dan Ketua Majlis Para Pengasuh oleh KH. Abu Mansur; ditiadakan.
Menurut Gus Fathurrohman, Syeh yang akan berkeliling ponpes se_Jawa dan Bali itu, kecapean. Dan tausiyahnya akan dilakukan setelah solat subuh keesokan hari. Sebelum datang di Tanggir, Syeh dan rombongannya transit dahulu di Ponpes Gresik, Langitan dan Senori, sambung suami Ning Suroya itu. Akhirnya, para undangan yang sejak tadi menanti pesan moral dari ulama suni itu, memaklumi keadaannya yang hendak segera beristirahat.
Sebelumnya, sembari menunggu kedatangannya Syeh, para undangan ditemani Hadroh Latansa dari ponpes Tanggir yang melantunkan solawat, “Yarobbisolli ‘ala Muhamad….” Di saat mereka sedang khidmat melantunkan solawat itu, Salamun dengan sesama undangan lain membahas ketidakhadiran Yai An. Sebab, selain sudah menyatakan siap hadir, ia sendiri yang mengantarkan surat undangan kepada kyai yang dikenal dekat dengan Bupati Waluyo itu. Sehingga perlu diketahui apa kira-kira penyebabnya.
Mereka yang diajak ngobrol adalah Kusen, Jupri dan Mbah Modin Rohmat. Dalam perbincangannya, mereka mengait-ngaitkan ketidakhadiran Yai An dengan pengunduran dirinya dari ketua RU belakangan ini. Kyai yang selalu mendampingi Bupati Waluyo menemui warganya itu, tiba-tiba mufaroqoh (berpisah) dengannya. Ia merasa omongannya sudah tidak didengarkan lagi oleh Bupati Waluyo.
“Eh, opo bener, Yai An mundur dari Ketua RU?” tanya Salamun kepada Kusen yang dilihatnya sesekali menyorongkan badanya ke kiri dan kanan. Oleh Salamusn ia dianggap mengalami kejenuhan menunggu tamu yang belum juga datang selama dua jam. Ia yang menjadi anak buahnya kyai yang tidak pernah lepas dari kaca mata itu, tidak langsung menjawab. Ada kesan menutup-nutupi. “Kadose enggeh, Gus Mun,” jawabnya yang biasa menyapa Salamun dengan Gus Mun. 
Jupri yang duduk di sebelahnya Kusen dan menjabat ketua Ranting RU Tanggir itu, menambahkan bahwa Yai An termasuk seorang ulama yang keras dan selalu melawan arus kebiasaan para pengurus RU. Pada awal-awal menjabat ketua RU dahulu, saat rapat persiapan pelantikan pengurus baru, ia ingin mendatangkan Ustadz Abu Bakar dan Habib Riziq. Meski argumen mendatangkan dua ulama garis keras itu diterima, tapi tetap saja beberapa pengurus lain belum siap. Mereka lebih suka menghadirkan ulama yang adem-adem. Yang dakwahnya selalu bilqolbi (ingkar suatu pebuatan maksiat di dalam hati), tidak bilyad (melawan maksiat dengan kekuatan atau kekerasan). Dengan alasan pengurus RU baru perlu injeksi darah segar pejuangan Islam. Perjuangan RU selama ini dunilainya hanya baru amar ma’ruf saja. Sedangkan yang nahi mungkar belum dilaksanakan.
“Nek pancen bener iku, sungguh disayangkan!” kata Salamun yang teringat perjuangan Yai An dahulu saat menjagokan Pak Waluyo sebagai bupati. Bukan tampa sebab pengasuh salah satu ponpes itu, all out 100% mendukung calon yang pengusaha dan kyai itu. Selain Pak Waluyo ketua RU tingkat cabang, ia dan juga warga Roudliyin ingin memiliki seorang bupati dari kalangan mereka. Harapannya, keadilan dan kesejahteraan sosial bagi warga yang mayoritas warga RU bisa lebih ditingkatkan.
Salamun juga teringat saat Yai An yang getol memobilisasi warga Tanggir dan sekitarnya untuk hadir di rumahnya Suparman, salah satu pengurus Partai Kebangkitan Dunia (PKD). Di rumah sederhana itu, Pak Waluyo yang dibotohi partai tersebut, berdialog dengan warga dan menampung aspirasinya. Di antara aspirasinya adalah perbaikan jalan poros desa dan kecamatan yang sudah rusak.
“Tapi opo bener, wadul Yai An tentang Bu Senangwati ora digatekke Pak Waluyo?”  desak Salamun lagi kepada Kusen. Seperti dikabarkan bahwa Yai An mundur dari  ketua RU setelah  menyampaikan aduan warga kepada Bupati Waluyo mengenai Bu Senangwati. Pengelola lembaga pendidikan swasta itu, selalu mendapatkan bantuan dari pemerintah kabupaten. Sepertinya ia sangat pandai melobi --dan dimanja oleh-- pejabat setempat. Setiap ada program bantuan dari pemerintah, ia yang murah senyum dan pandai bergaul itu, selalu mendapatkannya. Meskipun ada lembaga lain di sebelahnya yang belum pernah dapat bantuan sejenis itu.
Kepiawaian Bu Senangwati dalam mendapat bantuan itu, sudah tidak asing lagi sejak dahulu, sebelum kepmimpinan Bupati Waluyo ini. Lantas, ketika diwaduli Yai An yang selalu menolak dititipi proposal itu, Bupati Waluyo hanya diam saja dan tidak mempermasalahkan pejabat terkait. Nampaknya sudah sesuai dengan ‘Prosedur Lobi Birokrasi.’ Mungkin dari pada nanti dirasani warganya bermain mata dengan Bu Senangwati, kyai yang perokok itu, lebih baik melepas jabatannya di RU. Ia memilih menjadi warga biasa agar tidak terbebani moral atas laku pimpinannya.  
Mbah Modin Rohmat yang mendengarkan pembicaraan itu, juga mengungkapkan ada keluhan warga soal jalan poros kecamatan dan desa. Kondisi jalan di beberapa tempat banyak yang tidak terurus. Banyak lobang menganga di sana-sini. Karena saking lamanya jalan yang rusak tidak segera diperbaiki, muncul kesan dana perbaikan jalan diimbet dulu di bank agar bisa berkembang matang bunganya.
Bahkan sudah ada rerasan beberapa warga kalau Bupati Waluyo menyalonkan lagi, mereka akan mempertimbangkan untuk mendukungnya kembali. Program dialog dengan masyarakat selepas solat jumat, yang diadakan setiap bulan di setiap kecamatan, hanyalah sebuah gebrakan sok blusukan pada awal pemerintahannya. Selanjutnya melempem dan berbau ‘tengik.’
“Alah, podo wae. Dibupateni kyai karo ora kyai !” obrolan warga yang didengar oleh Mbah Modin Rohmat di warung kopinya Kang No. ia yang diketahui bernama Samingun itu menilai, seorang bupati itu tidak pandang kyai atau bukan, laki-laki atau perempuan. Tapi, ia harus cekatan dalam pekerjaan. Tidak menunggu jatuhnya korban dahulu sampai mati, baru jalan yang rusak diperbaiki.
“Puuuwinter tenan, saiki, kowe Ngun!” kagum Sukri, teman ngobrol Samingun setelah memberinya sebatang rokok Mlinjo dan mentraktir minum kopinya.     
Di saat sedang serius membahas Yai An dan Bupati Waluyo, terdengar sseruan dari speker  masjid yanga meminta hadirin berdiri untuk menyambut kedatangan rombongan Syeh Mohamad Ismail itu. Diiringi Hadroh Latansa, lantunan solawat badar mereka membahana memenuhi ruang serambi. Oleh Gus Fathurrohman, di dalam kesempatan itu, diselipkan pula acara “Walimatut Tasmiyah” untuk putrinya yang ketiga. Bayi mungil itu diberi nama Asyiqoh ‘Aisyah al_Abidah. Semoga kelak menjadi anak yang solehah! Amin!

    


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar