KYAI AN Vs BUPATI WALUYO
Ahad
malam Senen, 30 Juni 2013, setelah isya’ para undangannya Gus Fuad sudah mulai
berdatangan, on time, di Ponpes
Tanggir. Mereka adalah para alumni pesantren, warga Tanggir dan juga Pengurus
Raudlotul Ulama (RU) setempat. Mereka diminta oleh putra KH. Munawir (alm) itu
untuk ikut menyambut Syeh Mohamad Ismail dari Mekah yang mengunjungi ponpes
tersebut. Mereka disambut oleh KH. Abu Mansur, Gus Ahsin, Gus Fathurrohman dan
para asatidz. Sedangkan Gus Fuad sendiri, dengan sesama alumni Mekah, ikut menjemput
Syeh itu di Bandara Juanda Surabaya.
Tampak
hadir dalam acara yang diberi label ‘Halaqoh
‘Ammah itu, Kepala Desa Tanggir, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
dan beberapa pengurus Ranting RU se_kecamatan. Namun Bupati Waluyo yang
rencananya hadir dan Kyai Ansorin (selanjutnya ditulis Yai An) ketua RU tingkat
kecamatan tampak tidak hadir di tengah
mereka. Ketidakhadiran Bupati yang sudah bolak-balik haji plus dan umroh itu,
menurut ajudannya, ada urusan mendadak di Istana Negara, Jakarta.
Acara
yang baru pertama kali diadakan di ponpes tersebut, kedatangan seorang ulama
besar dari Timur Tengah, ditempatkan di serambi Masjid al_Makmur di lingkungan
ponpes. Model acaranya dibentuk ala Masjidil Haram, lesehan. Para undangan
duduk di atas permadani warna merah dan hijau mengelilingi sepasang meja dan
kursi yang akan ditempati Syeh. Menurut rencana sebelumnya, acara yang latar
backgroundnya tertulis ‘Marhaban Ahlan
Wasahlan Bikhudluri Masahatis Syeh Mohamad Ismail Zainul Maki_y …,’ itu
akan digelar pada pukul 19.30.
Tepat
pukul 21.30, iring-iringan mobil Alphard, Inova dan APV datang memasuki gerbang
ponpes. Tidak berselang lama, gurunya Gus Fuad itu keluar dari mobil yang
paling mewah dan langsung menuju ke kursi yang sudah disiapkan. Lalu memimpin
doa tampa memberi ular-ular (mauidhoh
hasanah) terlebih dahulu. Susunan acara yang dirancang sebelumnya: sambutan
sohibul bait oleh Gus Ahsin dan Ketua Majlis Para Pengasuh oleh KH. Abu Mansur;
ditiadakan.
Menurut
Gus Fathurrohman, Syeh yang akan berkeliling ponpes se_Jawa dan Bali itu,
kecapean. Dan tausiyahnya akan dilakukan setelah solat subuh keesokan hari. Sebelum
datang di Tanggir, Syeh dan rombongannya transit dahulu di Ponpes Gresik,
Langitan dan Senori, sambung suami Ning Suroya itu. Akhirnya, para undangan
yang sejak tadi menanti pesan moral dari ulama suni itu, memaklumi keadaannya
yang hendak segera beristirahat.
Sebelumnya,
sembari menunggu kedatangannya Syeh, para undangan ditemani Hadroh Latansa dari
ponpes Tanggir yang melantunkan solawat, “Yarobbisolli
‘ala Muhamad….” Di saat mereka sedang khidmat melantunkan solawat itu,
Salamun dengan sesama undangan lain membahas ketidakhadiran Yai An. Sebab,
selain sudah menyatakan siap hadir, ia sendiri yang mengantarkan surat undangan
kepada kyai yang dikenal dekat dengan Bupati Waluyo itu. Sehingga perlu diketahui
apa kira-kira penyebabnya.
Mereka
yang diajak ngobrol adalah Kusen, Jupri dan Mbah Modin Rohmat. Dalam
perbincangannya, mereka mengait-ngaitkan ketidakhadiran Yai An dengan
pengunduran dirinya dari ketua RU belakangan ini. Kyai yang selalu mendampingi
Bupati Waluyo menemui warganya itu, tiba-tiba mufaroqoh (berpisah) dengannya. Ia
merasa omongannya sudah tidak didengarkan lagi oleh Bupati Waluyo.
“Eh, opo bener, Yai An mundur dari
Ketua RU?” tanya Salamun kepada Kusen yang dilihatnya sesekali
menyorongkan badanya ke kiri dan kanan. Oleh Salamusn ia dianggap mengalami
kejenuhan menunggu tamu yang belum juga datang selama dua jam. Ia yang menjadi
anak buahnya kyai yang tidak pernah lepas dari kaca mata itu, tidak langsung
menjawab. Ada kesan menutup-nutupi. “Kadose
enggeh, Gus Mun,” jawabnya yang biasa menyapa Salamun dengan Gus Mun.
Jupri
yang duduk di sebelahnya Kusen dan menjabat ketua Ranting RU Tanggir itu,
menambahkan bahwa Yai An termasuk seorang ulama yang keras dan selalu melawan
arus kebiasaan para pengurus RU. Pada awal-awal menjabat ketua RU dahulu, saat
rapat persiapan pelantikan pengurus baru, ia ingin mendatangkan Ustadz Abu
Bakar dan Habib Riziq. Meski argumen mendatangkan dua ulama garis keras itu
diterima, tapi tetap saja beberapa pengurus lain belum siap. Mereka lebih suka
menghadirkan ulama yang adem-adem. Yang dakwahnya selalu bilqolbi (ingkar suatu pebuatan maksiat di dalam hati), tidak bilyad (melawan maksiat dengan kekuatan
atau kekerasan). Dengan alasan pengurus RU baru perlu injeksi darah segar
pejuangan Islam. Perjuangan RU selama ini dunilainya hanya baru amar ma’ruf
saja. Sedangkan yang nahi mungkar belum dilaksanakan.
“Nek pancen bener iku, sungguh
disayangkan!” kata Salamun yang teringat perjuangan
Yai An dahulu saat menjagokan Pak Waluyo sebagai bupati. Bukan tampa sebab
pengasuh salah satu ponpes itu, all out 100% mendukung calon yang pengusaha dan
kyai itu. Selain Pak Waluyo ketua RU tingkat cabang, ia dan juga warga
Roudliyin ingin memiliki seorang bupati dari kalangan mereka. Harapannya,
keadilan dan kesejahteraan sosial bagi warga yang mayoritas warga RU bisa lebih
ditingkatkan.
Salamun
juga teringat saat Yai An yang getol memobilisasi warga Tanggir dan sekitarnya
untuk hadir di rumahnya Suparman, salah satu pengurus Partai Kebangkitan Dunia
(PKD). Di rumah sederhana itu, Pak Waluyo yang dibotohi partai tersebut, berdialog dengan warga dan menampung
aspirasinya. Di antara aspirasinya adalah perbaikan jalan poros desa dan
kecamatan yang sudah rusak.
“Tapi opo bener, wadul Yai An
tentang Bu Senangwati ora digatekke Pak Waluyo?” desak Salamun lagi kepada Kusen. Seperti
dikabarkan bahwa Yai An mundur dari
ketua RU setelah menyampaikan aduan
warga kepada Bupati Waluyo mengenai Bu Senangwati. Pengelola lembaga pendidikan
swasta itu, selalu mendapatkan bantuan dari pemerintah kabupaten. Sepertinya ia
sangat pandai melobi --dan dimanja oleh-- pejabat setempat. Setiap ada program
bantuan dari pemerintah, ia yang murah senyum dan pandai bergaul itu, selalu mendapatkannya.
Meskipun ada lembaga lain di sebelahnya yang belum pernah dapat bantuan sejenis
itu.
Kepiawaian
Bu Senangwati dalam mendapat bantuan itu, sudah tidak asing lagi sejak dahulu,
sebelum kepmimpinan Bupati Waluyo ini. Lantas, ketika diwaduli Yai An yang
selalu menolak dititipi proposal itu, Bupati Waluyo hanya diam saja dan tidak
mempermasalahkan pejabat terkait. Nampaknya sudah sesuai dengan ‘Prosedur Lobi
Birokrasi.’ Mungkin dari pada nanti dirasani warganya bermain mata dengan Bu
Senangwati, kyai yang perokok itu, lebih baik melepas jabatannya di RU. Ia
memilih menjadi warga biasa agar tidak terbebani moral atas laku pimpinannya.
Mbah
Modin Rohmat yang mendengarkan pembicaraan itu, juga mengungkapkan ada keluhan
warga soal jalan poros kecamatan dan desa. Kondisi jalan di beberapa tempat
banyak yang tidak terurus. Banyak lobang menganga di sana-sini. Karena saking
lamanya jalan yang rusak tidak segera diperbaiki, muncul kesan dana perbaikan
jalan diimbet dulu di bank agar bisa
berkembang matang bunganya.
Bahkan
sudah ada rerasan beberapa warga kalau Bupati Waluyo menyalonkan lagi, mereka
akan mempertimbangkan untuk mendukungnya kembali. Program dialog dengan
masyarakat selepas solat jumat, yang diadakan setiap bulan di setiap kecamatan,
hanyalah sebuah gebrakan sok blusukan
pada awal pemerintahannya. Selanjutnya melempem
dan berbau ‘tengik.’
“Alah, podo wae. Dibupateni kyai
karo ora kyai !” obrolan warga yang didengar oleh Mbah
Modin Rohmat di warung kopinya Kang No. ia yang diketahui bernama Samingun itu
menilai, seorang bupati itu tidak pandang kyai atau bukan, laki-laki atau
perempuan. Tapi, ia harus cekatan dalam pekerjaan. Tidak menunggu jatuhnya
korban dahulu sampai mati, baru jalan yang rusak diperbaiki.
“Puuuwinter tenan, saiki, kowe
Ngun!” kagum Sukri, teman ngobrol Samingun setelah
memberinya sebatang rokok Mlinjo dan mentraktir minum kopinya.
Di
saat sedang serius membahas Yai An dan Bupati Waluyo, terdengar sseruan dari
speker masjid yanga meminta hadirin
berdiri untuk menyambut kedatangan rombongan Syeh Mohamad Ismail itu. Diiringi
Hadroh Latansa, lantunan solawat badar mereka membahana memenuhi ruang serambi.
Oleh Gus Fathurrohman, di dalam kesempatan itu, diselipkan pula acara
“Walimatut Tasmiyah” untuk putrinya yang ketiga. Bayi mungil itu diberi nama
Asyiqoh ‘Aisyah al_Abidah. Semoga kelak menjadi anak yang solehah! Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar