Senin, 05 Agustus 2013

Yai An, dari Jumat Pon ke Jumat Pon Lagi

YAI AN, DARI JUMAT PON KE JUMAT PON LAGI
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, matahari tidak mampu memanasi bumi secara sempurna karena sesekali mendung, hujan ringan dan panas sebentar.  Siang itu langit cerah. Tidak ada awan tipis yang menyelimutinya. Di Masjid Al-Makmur yang ada di lereng pegunungan ini akan segera dilangsungkan solat jum’at. Speker  masjid sudah melantunkan qiro’ah menyapa  setiap warga untuk segera besiap diri menuju ke rumah Allah itu. Dan sudah menjadi tradisi sejak dulu, menjelang waktu solat jum’at sekitar enam puluh menit,  diputar qiro’ah terlebih dulu melalui pengeras suaranya yang berdiri tegak  di pucuk kubah masjid.
Pak Mujib yang muadzinnya masjid itu sudah standby di dekat mimbar khotbah. Kurang lebih tiga puluh menit lagi, akan terdengar suara emasnya mengumandangkan adzan solat jumat.
Kesadaran mayoritas penduduk di daerah masjid yang pernah ditempati dialog Bupati itu, untuk menunaikan solat jumat sudah lebih baik bila dibandingkan lima-sepuluh tahun belakangan ini. Mungkin ini dampak dari diadakannya Majlis Ta’lim Sentoso setiap dua kali dalam sebulan, tanggal satu dan lima belas. Kalau dulu mereka mengabaikan solat berjamaah yang diwajibkan setiap pekan itu, tetapi sekarang tidak. Bila suara qiroah sudah terdengar, mereka akan bergeragap pulang ke rumah, meski di tengah kesibukan di sawah atau lainnya, lalu mempersiapkan diri segera ke masjid.
 “Laut-laut, wes qiroah iku lho!” Salamun yang berjalan di pematang sawah yang tak jauh dari tempat Kamzah, tetangganya, itu berseru  mengajaknya pulang untuk solat jum’at. Kata “laut” oleh penduduk yang ada di desanya Salamun dan Kamzah diartikan untuk menyudahi pekerjaan.
“Siap Bos, sediluk engkas iki lho, nanggung!” jawab jenaka Kamzah sembari menyelesaikan ndaut benih padi di sawah garapannya yang masih tinggal sedikit dan memintanya menunggu sebentar untuk pulang bersama.
 ”Wah, njanur gunung tenan, iki! Kapan tobatmu, Mun? Tumben,  saiki, ajak-ajak muleh barang?” tukasnya bercanda karena biasanya Salamun sak kobere solat jumatan. Kadang solat dan kadang tidak. Lebih-lebih saat deng-dengan tanam padi dan memungut pajak pada penduduk,  ia sering bolos.
Seperti tahun kemarin saat deadline penyetoran pajak PBB yang hampir berakhir. Oleh kepala desa ia  diberi waktu dua minggu untuk menarik wajib pajak. Bila dalam waktu itu ia tidak bisa memenuhi target nominal pajak yang disetorkan ke kas negara, upah pungut pajak dan dana ADD desanya akan dipending dan tidak dicairkan oleh pemerintah kabupaten. Kadang-kadang pernah juga ia tidak bisa memenuhi target penyetoran pajak. Kalau seperti ini, kekurangannya ditalangi dulu oleh kepala desanya.  
“Ojo ngono toh ! Arep niat apik sithek mbok lorohi,  tapi nek main domino neng warunge No, mbok njarno! jane piye toh,  karepmu?” kesal suami Kasanah itu sembari mengambil tembakau, cengkeh dan sek yang terbungkus plastik bekas mi instan dari dalam saku celana komprangnya untuk membuat rokok tingwe (nglinting dewe) kesukaannya.  Menurutnya, dibanding rokok tukon, Djarum 76 misalnya, masih lebih mantap rasa rokok buatannya sendiri. Maklum ia perokok berat. Tembakaunya saja tak asal beli. Ada penjual khusus, di tokonya Kang Fadilun yang menjadi langganannya.
 Sambil menunggu di pematang sawah dan menghisap rokok buatannya, Salamun yang juga menjadi petugas pungut pajak itu, kasihan melihat kondisinya Kamzah yang susah. Musim rendengan kemarin ia gagal panen. Tanaman padinya diserang penyakit sundep dan pengerat tikus. Hasil panen yang biasanya delapan  ton hanya keluar tujuh sak, sekitar enam kwintal. Akibatnya modal utangan jegur sawah tak terbayar. Nasib seperti itu masih dibilang untung bila dibandingkan sawah milik tetangga desanya yang sama sekali tidak panen. Dan lebih tragisnya lagi, pemilk sawah itu bunuh diri dengan minum insektisida.  Ia berharap pemerintah memberi bantuan pada petani yang gagal panen. Tapi sayang, saat ada bantuan benih padi ia tak kebagian! Lantaran bantuan tersebut hanya dinikmati orang-orang dekat kelompok tani dan perangkat desa.
“Alhamdulillah, panenanku wingi iseh lumayan !” puji Salamun kepada Allah swt karena hasil panennya kemarin masih bisa dibawa pulang setelah dipotong hutang dan zakat zuru’. Meski hasilnya menurun, ia lebih bernasib baik bila dibandingkan tetangganya itu.
####

Dalam perjalanan pulang dari sawah yang tak jauh dari masjid, sesama anggota Majlis Ta’lim ‘Sentoso’ itu membicarakan soal pertanian, juga pembagian tugas khotib dan imam. “saiki jum’at Kliwon. Sak ilengku nek jum’at Kliwon seng dadi khotibe Pak Saikun,” tutur Salamun mengawali pembicaraan.
“Yo, bener,” jawab suami Yu Nah yang pernah hampir bercerai gara-gara istrinya menolak diajak kelon. Entah sebab jatah belanjanya berkurang karena gagal panen atau bau badan suaminya berbahu lumpur atau lereng gunung ketika memeluknya.   “Tapi aku heran karo awakmu, jarang ke masjid, kok, apal jadwal khotibe!” ia melanjutkan.
“Sopo disek, no? Kene dilawan!” sombong Salamun yang cepat-cepat mewanti-wanti Kamzah supaya tak meniru perbuatannya. Selain Pak Saikun, para khotib tiap jumat di Masjid Al-Makmur itu adalah pak H. Umar khotib jumat Wage, Pak Zen jumat Kliwon, Pak Kurdi jumat Legi, Mbah Sungeb jumat Pahing dan Yai An jumat Pon.
“Tapi anehe, seng dadi imame ora tau ganti! Mulai jumat Pon sampek jum’at Pon maneh,”  kejanggalan Salamun yang masih menjadi misteri.
“Maksudmu, piye Mun? Opo kowe pengen daftar imam, toh?”  selidik penggarap sawahnya H. Umar itu, yang belum mudeng apa maksudnya.
“Ora ono potongane aku! Lha, alif bengkong wae aku ora titen, kok, arep daftar imam ! Tapi seng dadi imam iku lho , kok Yai An terus. Ora tau liyane. Padahal ono seng luweh tuwo lan podho-podho duwe kemampuane. ” paparnya dengan menaikkan volume suaranya sedikit. Meski Salamun itu orang awam, rasa sosialnya mengatakan ada pilih kasih dalam pembagian jadwal imam masjid milik masyarakat itu.
 Yai An (biasa ia disapa oleh warga) adalah pemilik nama lengkap Ansorin, putra pertama KH. Wahab sang pendiri pesantren besar. Ia  mulai menjadi imam solat secara estafet, terutama solat jum’at, sejak ayahnya wafat. Kemudian tidak berselang lama menjadi pula ketua ta’mir masjid.
“Nek soal itu aku no komen, Mun. Kuwi urusane wong seng ngerti alif bengkong!” jawab Kamzah menghindar masuk ke ranah kelola masjid, terutama soal siapa yang punya maqom ngimami, apakah dimonopoli atau tidak, dibuat gantian seperti jadwal Khotib atau tidak. Ia  merasa a’rifu binafsi_y (tahu diri) pengetahuan agamanya tak seluas ilmu mereka. “ Aku makmum wae, kok! Sopo wae seng ngimami aku anut!” sambungnya yang tidak bisa membedakan rasa khusuk solat ketika diimami Yai An atau lainnya itu, mengahiri percakapan sembari mereka berpisah menuju rumahnya masing-masing.
Memang benar apa yang Salamun dan Kamzah katakan tadi bahwa di Masjid yang dibangun di tanah wakafan H. Samsuri itu, memiliki jadwal para khotib setiap hari Jum’at. Tapi tidak untuk imamnya. Yang menjadi imam solat jum’at selalu Yai An. Itu sudah berlangsung sejak lama, sejak lima tahunan. Sehingga muncul anggapan dari sebagian warga bahwa seakan-akan masjid itu milik Yai An dan dzuriyahnya. Apa sebab? Begini, selain soal monopoli imam, semua keluarga Yai An: adik, kakak dan mbakyu  menjadi penggarap sawah milik masjid. Padahal mereka tidak menjadi pengurus masjid. Sedangkan muadzin dan khotib lain tidak pernah diberi kesempatan menggarap sawah itu. Dan anehnya lagi, tak ada seorang pun dari warga, termasuk para khotib sendiri, yang berani menyoal masalah itu langsung di hadapan Yai An. Beraninya mereka hanya rerasan dengan sesama warga  di banyak tempat dan kesempatan.
####

“Ada rasa ewuh pakewuh kepadanya,” begitu jawab Pak Saikun, salah satu khotib, saat ditemui Salamun yang memintanya bertanya kepada Yai An mengenai jadwal imam solat jumat. Setelah gagal dari khotib jumat Kliwon itu, ia mendatangi khotib lainnya. Namun lagi-lagi ia mendapati jawaban yang sama. Padahal mereka diyakini tahu persis hukum makruh bagi imam solat jum’at yang tak satu paket dengan khotibnya. Maksudnya orang yang manjadi khotib sekaligus menjadi imam.
 “Sahene khotib lan  imam niku tiang setunggal, menawi mboten hukumipun makruh, lek!” jawab Nabil, keponakannya Salamun, yang menjadi staf salah satu mustasyar nu, ketika ditanya soal itu beberapa bulan yang lalu saat liburan sekolah. Lebih lanjut Nabil menjelaskan, walaupun berdampak hukum makruh, keabsahan solat jum’at tak terpengaruh. Tetap sah solatnya. Hanya saja, sekiranya kondisi mendukung sebaiknya orang yang menjadi khotib sekaligus juga menjadi imam supaya memperoleh fadlilah (keutamaan bernilai pahala) solat jumat.
Meski hanya tamat aliyah dan tak pernah belajar di pesantren, Nabil yang mengetahui kondisi jadwal imam masjid itu, tak akan memonopoli imam masjid, seandainya ia menjadi Yai An.
“Saya tak akan mau dijadikan imam solat Jum’at sendirian.”
“Saya hawatir ada orang menganggap diriku yang paling pandai. Padahal tidak.”
“Bukankah orang yang lebih senior dan mampu itu, lebih afdlol menjadi imam ?!”
“Kalau saja saya bukan anak KH. Wahab, saya seperti dia dan mereka.”
“Saya juga ingin menjadi makmum supaya bisa belajar menjadi imam dari mereka.”
Dalam kesempatan rapat pengurus masjid yang digelar setelah musim panen selesai, yang dihadiri semua pengurus masjid dan tokoh masyarakat, termasuk Salamun dan Kamzah, Yai An menjadi pemimpin rapatnya.“silahkan kalau ada yang mau tanya atau usul berkaitan dengan kemaslahatan masjid kita !” katanya mempersilahkan kepada hadirin untuk bertanya, setelah menyampaikan sambutan ta’mir masjid.
Meski sudah dibuka kesempatan bertanya, tak ada satu pun dari mereka yang berani mengacungkan jari telunjuk. Padahal masalah siapa yang menjadi pengelola aset masjid yang berupa perkebunan, persawahan dan juga mengapa yang menjadi bendahara masjid sejak dahulu Bu Senangwati, itu tidak kalah pentingnya untuk dimintai penjelasan. Namun, lagi-lagi soal ewuh pakewuh atau sungkan, menyetop keinginan mereka untuk bertanya atau sekedar usul. Sehingga tidak ada satu jam, rapat sudah selesai.
 Sementara itu, warga yang dipilh menjadi khotib merupakan seseorang yang dianggap melek ilmu agama dan juga baik bacaan al-qur’annya. Namun begitu, diantara para khotib, Yai An lah yang memiliki mutstasnayat (pengecualian) tersendiri. Selain memiliki trah keturunana Kyai (putra KH. Wahab yang kharismatik), ia juga pernah berkesempatan belajar paling lama di pesantren. Sehingga menjadi maklum kalau ia ‘dinobatkan’ menjadi imam solat jum’at satu-satunya, mulai dari jum’at Pon sampai jum’at Pon lagi. Sedangkan khotib lainnya hanya memiliki jadwal sekali dalam lima pasaran (Pon, Wage, kliwon, Legi dan Pahing). Kalau ia yang juga menjadi khotib jumat pon itu, pergi dan tidak bisa mengimami solat jumat, ia akan menyuruh kepada salah satu khotib. Dan biasanya, hanya Pak Saikun lah yang membadalinya (menggantikannya).
Sesampainya di rumah sederhana yang berlantai tegel bekas dari tegelnya musola itu, Kamzah langsung mandi. Usai membasuh air ke seluruh tubuh dengan sabun dan shampo di kamar mandi tampa atap itu, ia bersiap diri berangkat jumatan. Meski hidangan makan siangnya : nasi beras dan jagung, sayur asem, sambel terasi dan ikan asin; sudah disiapkan istrinya di babrakan dapur sejak tadi.
 “Pak, kulo dienthosi, nggih!” ujar anak Kamzah yang masih duduk di TK itu, bergegas minta dimandikan ibunya saat mengetahui ayahnya akan berangkat ke masid, tepat suara adzan terdengar.“Hayya ‘alas solah !”
Kemudian Kamzah dan putra semata wayangnya itu, setelah rapi berpakaian, berpamitan pada ibunya untuk segera  menuju ke masjid.
“Assalamualaikum,” kata salam anak TK itu setelah cium tangan ibunya dan berpamitan untuk menuju ke masjid solat jumatan bersama ayahnya.
“waalaikum salam,” jawab sang ibu bangga semoga ia menjadi anak yang soleh yang bisa bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsanya.
####
Dengan berbusana muslim warna putih yang meruapkan bau harum parfum cap Unta, Kamzah dan anaknya yang masih TK itu, menuju ke masjid Al_Makmur. Di masjid yang mendapat bentuan dari pemerintah atas lobi khotib H. Umar itu, beberapa warga sudah banyak yang datang memenuhi ruang-ruang masjid. Pak Saikun yang bertugas menjadi khotibnya sudah siap-siap menuju ke mimbar khotbah.
“Alhamdulillah, enthuk pahala unta !” kata Kamzah dalam hati saat memasuki  masjid yang mendapat bentuan Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah) itu sebelum khotbah dimulai. Mengenai pahala unta, suami ketua Fatayat NU itu, ingat pelajaran fiqih dari Kyai Wahab, guru ngajinya dulu, yang menerangkan jika datang di masjid setelah khotbah dimulai, maka Malaikat pencatat amal yang menanti para jamaah di depan masjid akan menutup bukunya. Mereka akan diberi pahala ‘burung emprit.’ Sebaliknya jika khotbah belum dimulai, pahala ‘seekor unta’ akan didapatkannya.
“Allaaahu akbar, Allaaahu akbar…,” adzan kedua solat jumat berkumandang, Kamzah dan anaknya sedang mencari sela-sela tempat kosong di serambi masjid.  
“Teng mriki, Pak ?” usul Fatih kepada bapaknya sambil menunjuk tempat di dekat pintu pembatas antara serambi dan ruang dalam masjid, untuk digelari sajadah.
“Nggeh, nak,” jawab Kamzah dengan bahasa Jawa halus untuk melatih anaknya agar terbiasa menggunakan kalimat boso kromo, baik kepada dirinya maupun kepada orang lain. Sebetulnya boleh saja ia menjawab dengan kata “Yo,” tapi itu tidak dipilihnya.
 Kamzah yang datang belakangan sengaja mengambil tempat di serambi. Lantaran di dalam masjid, lebih-lebih di sof awal (tempat paling depan) sudah tidak ada tempat yang kosong. Kalau pun ada yang kosong ia tetap akan memilih di luar, di serambi masjid itu. Suami Jamilatun yang tidak mempunyai profesi selain buruh tani itu, merasa tidak punya maqom bertempat di dekat pengimaman itu karena tidak pernah mengikuti wiridan setelah solat jumat. Mungkin nanti kalau sudah bisa istiqomah mengikuti wiridan sampai selesai, ia akan berusaha datang lebih awal agar bisa menempati tempat itu.
Setelah menggelar sajadah di lantai keramik yang masih tercium bau semen itu, sebelum duduk. Kamzah dan anaknya langsung nganyari melakukan solat sunah dua rokaat terlebih dulu. Sebab jika langsung duduk, ia akan kehilangan waktu solat sunah dua rokaat. Sedangkan anak kecil itu dibiarkan sesukanya, langsung duduk atau sesekali mengikuti gerakan solat bapaknya.
Selesai solat sunah, Kamzah menyalami Pak Hasani, Pak Udin dan jamaah lain yang ada di depan, di belakang dan di sampingnya. Hal itu sudah menjadi kebiasaannya dan jamaah lain, setiap selesai solat berjamaah selalu bersalaman dengan jamaah yang ada di sekitarnya. Tidak berselang lama, khotib yang juga guru agama di SD itu, menuju ke mimbar khotbah. “Assalamualaikum….” Salam pembukaannya mengawali khotbah yang akan menerangkan fadlilah (keutamaan) bulan Sya’ban. 
“Pak, ngisi kotak mboten ?” tanya Fatih yang selalu diajak bapaknya solat jumat itu, sambil memegangi kotak kaleng amal jariyah yang berjalan di depannya saat khotbah berlangsung. Kemudian bapaknya mengambil uang perak sebesar Rp. 500,-(Lima Ratus Rupiah) dari saku baju taqwanya lalu diberikan padanya untuk dimasukkan ke dalam kotak. Meski nilainya kecil, Kamzah ingin mendidik anaknya untuk bersedekah. Setiap kali ke masjid untuk solat jumat , tetangganya Salamun itu, selalu membawa uang receh untuk dimasukkan ke dalam kotak berjalan. Baik dimasukkan oleh dirinya maupun  anaknya.
 “Kluthiq,” bunyi gesekan uang dengan lainnya di dalam kotak yang terdengar oleh seorang jamaah di sekitar Fatih, saat ia memasukkannya.
####
“Wulan meniko, inggih wulan muqimut to’at. Ugi wulan seng wonten peristiwa perintah menghadap qiblat dari arah masjidil aqso ke arah masjidil harom,” kata Pak Saikun dalam khotbahnya tampa disisipi hikmah suatu peristiwa sosial dan budaya yang sedang terjadi. Ketika ia berkhotbah sesungguhnya masyarakat yang menjadi jamaahnya sedang menghadapi gagal panen, anomali cuaca, Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang salah sasaran, masuk ajaran baru sekolah. “…fawalli wajhaka syatrol masjidil harom ….” Sambungnya mengutip sebuah ayat al-qur’an sambil sesekali melihat buku khotbah yang ada di tangannya.
. Tidak diketahui apakah kurang persiapan atau minimnya wawasan para khotib, buku khotbah yang dibaca di atas mimbar itu, selalu bertema keutamaan bulan hijriyah. Bulan Mulud, ba’do Mulud, Rejeb dan Sya’ban misalnya. Baik yang membaca buku itu khotib  Pak H. Umar, Pak Kurdi, Yai An  maupun Pak zen sendiri. Buku ‘khotbah wajib’ yang selalu disimpan di pengimaman itu, menganggap tema selain fadlilah bulan hijriyah itu bersifat dunyawiyah (urusan dunia). Tidak bernilai ibadah. Padahal kalau mereka sedikit mau menyisipi peristiwa sosial dan budaya, tentu bisa menambah warna isi khotbah--selain  keutamaan bulan itu sendiri--yang dibutuhkan oleh para jamaahnya.
Sementara itu, sambil mendengarkan khotbah dan sesekali menahan rasa kantuk, mata Kamzah tampa sengaja melihat Kasurin, mantan kepala desanya (kades), yang duduk di sof awal, tidak jauh dari sampingnya Yai An. Seorang guru olahraga di MI itu, merasa melihat pemandangan langka, ia yang jarang-jarang solat jumat itu, sekarang duduk di sof awal. Memang akhir-akhir ini mantan kades yang nyaleg itu, mulai nampak rajin pergi ke masjid. Ia yang menjadi caleg nomor urut lima dari partai berbasis agama di dapil IV itu, sedang mencari perhatian masyarakat agar memilihnya nanti dalam pemilu.
 “Tapi sayange, iku mung ono arep pemilu thok !” tandas Kamzah yang menilainya ada muatan politik. Penilaian guru olahraga itu,  seperti komentarnya para pengamat di TV saat berdialog membahas polah tingkah para caleg yang mendadak aneh di tahun-tahun politik sekarang ini. Mereka pandai mencari perhatian dengan sok islami, sok dermawan, sok pro rakyat dan sok-sok lain, teruskan sendiri! Mereka kalau sudah jadi legislatif melupakan konstituennya. Mungkin lupanya mereka itu karena merasa sudah memberi sesuatu (kaos, uang dan sembako) saat menjelang pemilu dulu.
Selesai berkhotbah, Yai An segera menuju ke pengimaman suntuk memimpin solat jumat, sedangkan Pak Saikun sendiri menuju ke tempat Yai An sebelumnya. “Allahu akbar Allahu akbar … lailahaillallah,” qomatnya Pak Mujib mengkomando jamaah untuk berdiri malakukan solat. Kemudian Kamzah dan anak kecilnya bergerak maju sedikit menuju ke sebelahnya Salamun yang masih kosong.
“Sawwu sufufakum, fainna taswiyatas salat …!” kata Yai An sebelum memulai solat jumat, sambil menghadap ke belakang mengingatkan jamaah agar jangan sampai ada tempat yang kosong. Menurut imam tetap di masjid yang mengutip hadits nabi itu, rapatnya barisan solat termasuk kesempurnaan solat itu sendiri. Kemudian Pak saikun, Pak Mujib, Kamzah, Fatih, Kasurin dan jamaah lain, kompak serentak mengucapkan “Amin!,” setelah Yai An mengucapkan “Waladl_dlol_lin,”
“Assalamualaikum ....” salam ikhtitam Yai An mengahiri solat jumat. Selanjutnya Yai yang sudah berputra dua itu, memimpin wiridan membaca surat al_Fatihah, Ihlas, Muawwidatain masing-masing tujuh kali. Dilanjutkan membaca tasbih, hamdalah dan tahbir masing-masing tiga puluh tiga kali. Lalu ditutupnya dengan doa.
Di tengah – tengah khusuk wiridan solat jumat, Mantan kades yang nyaleg itu, yang duduknya di sof awal itu, bergegas berdiri menuju ke luar masjid. Tampa rasa malu, ia yang bersorban itu, melewati banyak barisan jamaah yang ada di belakangnya. “Manggone neng ngarep tapi mulehe disik_an,” heran Salamun pada Kamzah yang bersitatap lalu menunjuk ke arah Kasurin. “Mung golek rahi thok !” sambungnya nggerundel, tengik. Menurutnya, tidak pantas seorang jamaah yang memilih tempat di dalam masjid, lebih-lebih di sof awal, keluar masjid duluan sebelum berakhirnya wiridan. “Wani milih neng njero, kudu wani metu burinan! Nek ora iso, kudune nunggu sak wenthoro disik!” tandasnya mengingatkan. Ia yang mendengar sindirannya Salamun itu, hanya cengar-cengir karo mesem ngguyu.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar