YAI AN, DARI JUMAT PON KE JUMAT PON
LAGI
Tidak
seperti hari-hari sebelumnya, matahari tidak mampu memanasi bumi secara
sempurna karena sesekali mendung, hujan ringan dan panas sebentar. Siang itu langit cerah. Tidak ada awan tipis
yang menyelimutinya. Di Masjid Al-Makmur yang ada di lereng pegunungan ini akan
segera dilangsungkan solat jum’at. Speker
masjid sudah melantunkan qiro’ah menyapa setiap warga untuk segera besiap diri menuju
ke rumah Allah itu. Dan sudah menjadi tradisi sejak dulu, menjelang waktu solat
jum’at sekitar enam puluh menit, diputar
qiro’ah terlebih dulu melalui pengeras suaranya yang berdiri tegak di pucuk kubah masjid.
Pak Mujib yang muadzinnya masjid itu sudah standby di dekat mimbar khotbah. Kurang lebih tiga puluh menit lagi, akan terdengar suara emasnya mengumandangkan adzan solat jumat.
Pak Mujib yang muadzinnya masjid itu sudah standby di dekat mimbar khotbah. Kurang lebih tiga puluh menit lagi, akan terdengar suara emasnya mengumandangkan adzan solat jumat.
Kesadaran
mayoritas penduduk di daerah masjid yang pernah ditempati dialog Bupati itu,
untuk menunaikan solat jumat sudah lebih baik bila dibandingkan lima-sepuluh
tahun belakangan ini. Mungkin ini dampak dari diadakannya Majlis Ta’lim Sentoso
setiap dua kali dalam sebulan, tanggal satu dan lima belas. Kalau dulu mereka
mengabaikan solat berjamaah yang diwajibkan setiap pekan itu, tetapi sekarang tidak.
Bila suara qiroah sudah terdengar, mereka akan bergeragap pulang ke rumah,
meski di tengah kesibukan di sawah atau lainnya, lalu mempersiapkan diri segera
ke masjid.
“Laut-laut,
wes qiroah iku lho!” Salamun yang berjalan di pematang sawah yang tak jauh
dari tempat Kamzah, tetangganya, itu berseru mengajaknya pulang untuk solat jum’at. Kata “laut” oleh penduduk yang ada di desanya
Salamun dan Kamzah diartikan untuk menyudahi pekerjaan.
“Siap Bos, sediluk
engkas iki lho, nanggung!” jawab jenaka Kamzah sembari menyelesaikan
ndaut benih padi di sawah garapannya
yang masih tinggal sedikit dan memintanya menunggu sebentar untuk pulang
bersama.
”Wah,
njanur gunung tenan, iki! Kapan tobatmu, Mun? Tumben, saiki, ajak-ajak muleh barang?” tukasnya bercanda
karena biasanya Salamun sak kobere
solat jumatan. Kadang solat dan kadang tidak. Lebih-lebih saat deng-dengan tanam padi dan memungut
pajak pada penduduk, ia sering bolos.
Seperti
tahun kemarin saat deadline penyetoran pajak PBB yang hampir berakhir. Oleh
kepala desa ia diberi waktu dua minggu
untuk menarik wajib pajak. Bila dalam waktu itu ia tidak bisa memenuhi target
nominal pajak yang disetorkan ke kas negara, upah pungut pajak dan dana ADD
desanya akan dipending dan tidak dicairkan oleh pemerintah kabupaten.
Kadang-kadang pernah juga ia tidak bisa memenuhi target penyetoran pajak. Kalau
seperti ini, kekurangannya ditalangi dulu oleh kepala desanya.
“Ojo ngono toh ! Arep
niat apik sithek mbok lorohi, tapi nek
main domino neng warunge No, mbok njarno! jane piye toh, karepmu?” kesal suami
Kasanah itu sembari mengambil tembakau, cengkeh dan sek yang terbungkus plastik
bekas mi instan dari dalam saku celana komprangnya untuk membuat rokok tingwe (nglinting dewe)
kesukaannya. Menurutnya, dibanding rokok
tukon, Djarum 76 misalnya, masih lebih mantap rasa rokok buatannya sendiri.
Maklum ia perokok berat. Tembakaunya saja tak asal beli. Ada penjual khusus, di
tokonya Kang Fadilun yang menjadi langganannya.
Sambil menunggu di pematang sawah dan
menghisap rokok buatannya, Salamun yang juga menjadi petugas pungut pajak itu, kasihan
melihat kondisinya Kamzah yang susah. Musim rendengan kemarin ia gagal panen.
Tanaman padinya diserang penyakit sundep dan pengerat tikus. Hasil panen yang
biasanya delapan ton hanya keluar tujuh
sak, sekitar enam kwintal. Akibatnya modal utangan jegur sawah tak terbayar. Nasib seperti itu masih dibilang untung
bila dibandingkan sawah milik tetangga desanya yang sama sekali tidak panen.
Dan lebih tragisnya lagi, pemilk sawah itu bunuh diri dengan minum insektisida.
Ia berharap pemerintah memberi bantuan
pada petani yang gagal panen. Tapi sayang, saat ada bantuan benih padi ia tak
kebagian! Lantaran bantuan tersebut hanya dinikmati orang-orang dekat kelompok
tani dan perangkat desa.
“Alhamdulillah,
panenanku wingi iseh lumayan !” puji Salamun kepada
Allah swt karena hasil panennya kemarin masih bisa dibawa pulang setelah
dipotong hutang dan zakat zuru’.
Meski hasilnya menurun, ia lebih bernasib baik bila dibandingkan tetangganya
itu.
####
Dalam
perjalanan pulang dari sawah yang tak jauh dari masjid, sesama anggota Majlis
Ta’lim ‘Sentoso’ itu membicarakan soal pertanian, juga pembagian tugas khotib
dan imam. “saiki jum’at Kliwon. Sak
ilengku nek jum’at Kliwon seng dadi khotibe Pak Saikun,” tutur Salamun
mengawali pembicaraan.
“Yo, bener,”
jawab suami Yu Nah yang pernah hampir bercerai gara-gara istrinya menolak
diajak kelon. Entah sebab jatah belanjanya berkurang karena gagal panen atau
bau badan suaminya berbahu lumpur atau lereng gunung ketika memeluknya. “Tapi aku heran karo awakmu, jarang ke masjid,
kok, apal jadwal khotibe!” ia melanjutkan.
“Sopo disek, no? Kene
dilawan!” sombong Salamun yang cepat-cepat mewanti-wanti Kamzah
supaya tak meniru perbuatannya. Selain Pak Saikun, para khotib tiap jumat di
Masjid Al-Makmur itu adalah pak H. Umar khotib jumat Wage, Pak Zen jumat
Kliwon, Pak Kurdi jumat Legi, Mbah Sungeb jumat Pahing dan Yai An jumat Pon.
“Tapi anehe, seng dadi
imame ora tau ganti! Mulai jumat Pon sampek jum’at Pon maneh,” kejanggalan Salamun yang masih menjadi
misteri.
“Maksudmu, piye Mun? Opo
kowe pengen daftar imam, toh?” selidik
penggarap sawahnya H. Umar itu, yang belum mudeng
apa maksudnya.
“Ora ono potongane aku!
Lha, alif bengkong wae aku ora titen, kok, arep daftar imam ! Tapi seng dadi
imam iku lho , kok Yai An terus. Ora tau liyane. Padahal ono seng luweh tuwo
lan podho-podho duwe kemampuane. ” paparnya dengan
menaikkan volume suaranya sedikit. Meski Salamun itu orang awam, rasa sosialnya
mengatakan ada pilih kasih dalam pembagian jadwal imam masjid milik masyarakat
itu.
Yai An (biasa ia disapa
oleh warga) adalah pemilik nama lengkap Ansorin, putra pertama KH. Wahab sang
pendiri pesantren besar. Ia mulai
menjadi imam solat secara estafet, terutama solat jum’at, sejak ayahnya wafat.
Kemudian tidak berselang lama menjadi pula ketua ta’mir masjid.
“Nek soal itu aku no
komen, Mun. Kuwi urusane wong seng ngerti alif bengkong!” jawab
Kamzah menghindar masuk ke ranah kelola masjid, terutama soal siapa yang punya maqom ngimami, apakah dimonopoli atau tidak,
dibuat gantian seperti jadwal Khotib atau tidak. Ia merasa a’rifu
binafsi_y (tahu diri) pengetahuan agamanya tak seluas ilmu mereka. “ Aku makmum wae, kok! Sopo wae seng ngimami
aku anut!” sambungnya yang tidak bisa membedakan rasa khusuk solat ketika
diimami Yai An atau lainnya itu, mengahiri percakapan sembari mereka berpisah
menuju rumahnya masing-masing.
Memang
benar apa yang Salamun dan Kamzah katakan tadi bahwa di Masjid yang dibangun di
tanah wakafan H. Samsuri itu, memiliki jadwal para khotib setiap hari Jum’at.
Tapi tidak untuk imamnya. Yang menjadi imam solat jum’at selalu Yai An. Itu
sudah berlangsung sejak lama, sejak lima tahunan. Sehingga muncul anggapan dari
sebagian warga bahwa seakan-akan masjid itu milik Yai An dan dzuriyahnya. Apa
sebab? Begini, selain soal monopoli imam, semua keluarga Yai An: adik, kakak
dan mbakyu menjadi penggarap sawah milik
masjid. Padahal mereka tidak menjadi pengurus masjid. Sedangkan muadzin dan
khotib lain tidak pernah diberi kesempatan menggarap sawah itu. Dan anehnya
lagi, tak ada seorang pun dari warga, termasuk para khotib sendiri, yang berani
menyoal masalah itu langsung di hadapan Yai An. Beraninya mereka hanya rerasan dengan
sesama warga di banyak tempat dan
kesempatan.
####
“Ada rasa ewuh pakewuh
kepadanya,” begitu jawab Pak Saikun, salah satu
khotib, saat ditemui Salamun yang memintanya bertanya kepada Yai An mengenai
jadwal imam solat jumat. Setelah gagal dari khotib jumat Kliwon itu, ia
mendatangi khotib lainnya. Namun lagi-lagi ia mendapati jawaban yang sama.
Padahal mereka diyakini tahu persis hukum makruh bagi imam solat jum’at yang tak
satu paket dengan khotibnya. Maksudnya orang yang manjadi khotib sekaligus
menjadi imam.
“Sahene
khotib lan imam niku tiang setunggal,
menawi mboten hukumipun makruh, lek!” jawab Nabil, keponakannya Salamun,
yang menjadi staf salah satu mustasyar nu, ketika ditanya soal itu beberapa
bulan yang lalu saat liburan sekolah. Lebih lanjut Nabil menjelaskan, walaupun
berdampak hukum makruh, keabsahan solat jum’at tak terpengaruh. Tetap sah
solatnya. Hanya saja, sekiranya kondisi mendukung sebaiknya orang yang menjadi
khotib sekaligus juga menjadi imam supaya memperoleh fadlilah (keutamaan
bernilai pahala) solat jumat.
Meski
hanya tamat aliyah dan tak pernah belajar di pesantren, Nabil yang mengetahui
kondisi jadwal imam masjid itu, tak akan memonopoli imam masjid, seandainya ia
menjadi Yai An.
“Saya tak akan mau
dijadikan imam solat Jum’at sendirian.”
“Saya hawatir ada orang
menganggap diriku yang paling pandai. Padahal tidak.”
“Bukankah orang yang
lebih senior dan mampu itu, lebih afdlol menjadi imam ?!”
“Kalau saja saya bukan
anak KH. Wahab, saya seperti dia dan mereka.”
“Saya juga ingin
menjadi makmum supaya bisa belajar menjadi imam dari mereka.”
Dalam
kesempatan rapat pengurus masjid yang digelar setelah musim panen selesai, yang
dihadiri semua pengurus masjid dan tokoh masyarakat, termasuk Salamun dan Kamzah,
Yai An menjadi pemimpin rapatnya.“silahkan
kalau ada yang mau tanya atau usul berkaitan dengan kemaslahatan masjid kita !”
katanya mempersilahkan kepada hadirin untuk bertanya, setelah menyampaikan
sambutan ta’mir masjid.
Meski
sudah dibuka kesempatan bertanya, tak ada satu pun dari mereka yang berani
mengacungkan jari telunjuk. Padahal masalah siapa yang menjadi pengelola aset
masjid yang berupa perkebunan, persawahan dan juga mengapa yang menjadi
bendahara masjid sejak dahulu Bu Senangwati, itu tidak kalah pentingnya untuk
dimintai penjelasan. Namun, lagi-lagi soal ewuh pakewuh atau sungkan, menyetop keinginan
mereka untuk bertanya atau sekedar usul. Sehingga tidak ada satu jam, rapat
sudah selesai.
Sementara itu, warga yang dipilh menjadi
khotib merupakan seseorang yang dianggap melek ilmu agama dan juga baik bacaan
al-qur’annya. Namun begitu, diantara para khotib, Yai An lah yang memiliki mutstasnayat (pengecualian) tersendiri. Selain
memiliki trah keturunana Kyai (putra
KH. Wahab yang kharismatik), ia juga pernah berkesempatan belajar paling lama di
pesantren. Sehingga menjadi maklum kalau ia ‘dinobatkan’ menjadi imam solat
jum’at satu-satunya, mulai dari jum’at Pon sampai jum’at Pon lagi. Sedangkan
khotib lainnya hanya memiliki jadwal sekali dalam lima pasaran (Pon, Wage,
kliwon, Legi dan Pahing). Kalau ia yang juga menjadi khotib jumat pon itu, pergi
dan tidak bisa mengimami solat jumat, ia akan menyuruh kepada salah satu
khotib. Dan biasanya, hanya Pak Saikun lah yang membadalinya (menggantikannya).
Sesampainya
di rumah sederhana yang berlantai tegel bekas dari tegelnya musola itu, Kamzah
langsung mandi. Usai membasuh air ke seluruh tubuh dengan sabun dan shampo di
kamar mandi tampa atap itu, ia bersiap diri berangkat jumatan. Meski hidangan
makan siangnya : nasi beras dan jagung, sayur asem, sambel terasi dan ikan
asin; sudah disiapkan istrinya di babrakan
dapur sejak tadi.
“Pak,
kulo dienthosi, nggih!” ujar anak Kamzah yang masih duduk di TK itu,
bergegas minta dimandikan ibunya saat mengetahui ayahnya akan berangkat ke
masid, tepat suara adzan terdengar.“Hayya
‘alas solah !”
Kemudian
Kamzah dan putra semata wayangnya itu, setelah rapi berpakaian, berpamitan pada
ibunya untuk segera menuju ke masjid.
“Assalamualaikum,”
kata salam anak TK itu setelah cium tangan ibunya dan berpamitan untuk menuju
ke masjid solat jumatan bersama ayahnya.
“waalaikum salam,”
jawab sang ibu bangga semoga ia menjadi anak yang soleh yang bisa bermanfaat
bagi agama, nusa dan bangsanya.
####
Dengan
berbusana muslim warna putih yang meruapkan bau harum parfum cap Unta, Kamzah
dan anaknya yang masih TK itu, menuju ke masjid Al_Makmur. Di masjid yang
mendapat bentuan dari pemerintah atas lobi khotib H. Umar itu, beberapa warga
sudah banyak yang datang memenuhi ruang-ruang masjid. Pak Saikun yang bertugas
menjadi khotibnya sudah siap-siap menuju ke mimbar khotbah.
“Alhamdulillah, enthuk pahala unta
!”
kata Kamzah dalam hati saat memasuki masjid yang mendapat bentuan Rp. 10.000.000,-
(Sepuluh Juta Rupiah) itu sebelum khotbah dimulai. Mengenai pahala unta, suami
ketua Fatayat NU itu, ingat pelajaran fiqih dari Kyai Wahab, guru ngajinya
dulu, yang menerangkan jika datang di masjid setelah khotbah dimulai, maka
Malaikat pencatat amal yang menanti para jamaah di depan masjid akan menutup
bukunya. Mereka akan diberi pahala ‘burung emprit.’ Sebaliknya jika khotbah
belum dimulai, pahala ‘seekor unta’ akan didapatkannya.
“Allaaahu akbar, Allaaahu akbar…,”
adzan kedua solat jumat berkumandang, Kamzah dan anaknya sedang mencari
sela-sela tempat kosong di serambi masjid.
“Teng mriki, Pak ?”
usul Fatih kepada bapaknya sambil menunjuk tempat di dekat pintu pembatas antara
serambi dan ruang dalam masjid, untuk digelari sajadah.
“Nggeh, nak,”
jawab Kamzah dengan bahasa Jawa halus untuk melatih anaknya agar terbiasa
menggunakan kalimat boso kromo, baik kepada dirinya maupun kepada orang lain.
Sebetulnya boleh saja ia menjawab dengan kata “Yo,” tapi itu tidak dipilihnya.
Kamzah yang datang belakangan sengaja
mengambil tempat di serambi. Lantaran di dalam masjid, lebih-lebih di sof awal
(tempat paling depan) sudah tidak ada tempat yang kosong. Kalau pun ada yang
kosong ia tetap akan memilih di luar, di serambi masjid itu. Suami Jamilatun
yang tidak mempunyai profesi selain buruh tani itu, merasa tidak punya maqom
bertempat di dekat pengimaman itu karena tidak pernah mengikuti wiridan setelah
solat jumat. Mungkin nanti kalau sudah bisa istiqomah mengikuti wiridan sampai
selesai, ia akan berusaha datang lebih awal agar bisa menempati tempat itu.
Setelah
menggelar sajadah di lantai keramik yang masih tercium bau semen itu, sebelum
duduk. Kamzah dan anaknya langsung nganyari
melakukan solat sunah dua rokaat terlebih dulu. Sebab jika langsung duduk, ia
akan kehilangan waktu solat sunah dua rokaat. Sedangkan anak kecil itu
dibiarkan sesukanya, langsung duduk atau sesekali mengikuti gerakan solat
bapaknya.
Selesai
solat sunah, Kamzah menyalami Pak Hasani, Pak Udin dan jamaah lain yang ada di
depan, di belakang dan di sampingnya. Hal itu sudah menjadi kebiasaannya dan
jamaah lain, setiap selesai solat berjamaah selalu bersalaman dengan jamaah
yang ada di sekitarnya. Tidak berselang lama, khotib yang juga guru agama di SD
itu, menuju ke mimbar khotbah. “Assalamualaikum….”
Salam pembukaannya mengawali khotbah yang akan menerangkan fadlilah (keutamaan)
bulan Sya’ban.
“Pak, ngisi kotak mboten ?”
tanya Fatih yang selalu diajak bapaknya solat jumat itu, sambil memegangi kotak
kaleng amal jariyah yang berjalan di depannya saat khotbah berlangsung.
Kemudian bapaknya mengambil uang perak sebesar Rp. 500,-(Lima Ratus Rupiah) dari
saku baju taqwanya lalu diberikan padanya untuk dimasukkan ke dalam kotak.
Meski nilainya kecil, Kamzah ingin mendidik anaknya untuk bersedekah. Setiap kali
ke masjid untuk solat jumat , tetangganya Salamun itu, selalu membawa uang receh
untuk dimasukkan ke dalam kotak berjalan. Baik dimasukkan oleh dirinya maupun anaknya.
“Kluthiq,”
bunyi gesekan uang dengan lainnya di dalam kotak yang terdengar oleh seorang
jamaah di sekitar Fatih, saat ia memasukkannya.
####
“Wulan meniko, inggih wulan muqimut
to’at. Ugi wulan seng wonten peristiwa perintah menghadap qiblat dari arah
masjidil aqso ke arah masjidil harom,” kata Pak Saikun dalam
khotbahnya tampa disisipi hikmah suatu peristiwa sosial dan budaya yang sedang terjadi.
Ketika ia berkhotbah sesungguhnya masyarakat yang menjadi jamaahnya sedang
menghadapi gagal panen, anomali cuaca, Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(BLSM) yang salah sasaran, masuk ajaran baru sekolah. “…fawalli wajhaka syatrol masjidil harom ….” Sambungnya mengutip sebuah
ayat al-qur’an sambil sesekali melihat buku khotbah yang ada di tangannya.
.
Tidak diketahui apakah kurang persiapan atau minimnya wawasan para khotib, buku
khotbah yang dibaca di atas mimbar itu, selalu bertema keutamaan bulan
hijriyah. Bulan Mulud, ba’do Mulud, Rejeb dan Sya’ban misalnya. Baik yang
membaca buku itu khotib Pak H. Umar, Pak
Kurdi, Yai An maupun Pak zen sendiri.
Buku ‘khotbah wajib’ yang selalu disimpan di pengimaman itu, menganggap tema
selain fadlilah bulan hijriyah itu bersifat
dunyawiyah (urusan dunia). Tidak bernilai ibadah. Padahal kalau mereka sedikit
mau menyisipi peristiwa sosial dan budaya, tentu bisa menambah warna isi khotbah--selain keutamaan bulan itu sendiri--yang dibutuhkan
oleh para jamaahnya.
Sementara
itu, sambil mendengarkan khotbah dan sesekali menahan rasa kantuk, mata Kamzah
tampa sengaja melihat Kasurin, mantan kepala desanya (kades), yang duduk di sof
awal, tidak jauh dari sampingnya Yai An. Seorang guru olahraga di MI itu,
merasa melihat pemandangan langka, ia yang jarang-jarang solat jumat itu,
sekarang duduk di sof awal. Memang akhir-akhir ini mantan kades yang nyaleg
itu, mulai nampak rajin pergi ke masjid. Ia yang menjadi caleg nomor urut lima dari
partai berbasis agama di dapil IV itu, sedang mencari perhatian masyarakat agar
memilihnya nanti dalam pemilu.
“Tapi
sayange, iku mung ono arep pemilu thok !” tandas Kamzah yang menilainya ada
muatan politik. Penilaian guru olahraga itu,
seperti komentarnya para pengamat di TV saat berdialog membahas polah
tingkah para caleg yang mendadak aneh di tahun-tahun politik sekarang ini.
Mereka pandai mencari perhatian dengan sok islami, sok dermawan, sok pro rakyat
dan sok-sok lain, teruskan sendiri! Mereka kalau sudah jadi legislatif
melupakan konstituennya. Mungkin lupanya mereka itu karena merasa sudah memberi
sesuatu (kaos, uang dan sembako) saat menjelang pemilu dulu.
Selesai
berkhotbah, Yai An segera menuju ke pengimaman suntuk memimpin solat jumat,
sedangkan Pak Saikun sendiri menuju ke tempat Yai An sebelumnya. “Allahu akbar Allahu akbar …
lailahaillallah,” qomatnya Pak Mujib mengkomando jamaah untuk berdiri
malakukan solat. Kemudian Kamzah dan anak kecilnya bergerak maju sedikit menuju
ke sebelahnya Salamun yang masih kosong.
“Sawwu sufufakum, fainna taswiyatas
salat …!” kata Yai An sebelum memulai solat jumat, sambil
menghadap ke belakang mengingatkan jamaah agar jangan sampai ada tempat yang
kosong. Menurut imam tetap di masjid yang mengutip hadits nabi itu, rapatnya
barisan solat termasuk kesempurnaan solat itu sendiri. Kemudian Pak saikun, Pak
Mujib, Kamzah, Fatih, Kasurin dan jamaah lain, kompak serentak mengucapkan “Amin!,” setelah Yai An mengucapkan “Waladl_dlol_lin,”
“Assalamualaikum ....”
salam ikhtitam Yai An mengahiri solat jumat. Selanjutnya Yai yang sudah
berputra dua itu, memimpin wiridan membaca surat al_Fatihah, Ihlas, Muawwidatain
masing-masing tujuh kali. Dilanjutkan membaca tasbih, hamdalah dan tahbir
masing-masing tiga puluh tiga kali. Lalu ditutupnya dengan doa.
Di
tengah – tengah khusuk wiridan solat jumat, Mantan kades yang nyaleg itu, yang
duduknya di sof awal itu, bergegas berdiri menuju ke luar masjid. Tampa rasa
malu, ia yang bersorban itu, melewati banyak barisan jamaah yang ada di
belakangnya. “Manggone neng ngarep tapi mulehe
disik_an,” heran Salamun pada Kamzah yang bersitatap lalu menunjuk ke arah
Kasurin. “Mung golek rahi thok !”
sambungnya nggerundel, tengik. Menurutnya,
tidak pantas seorang jamaah yang memilih tempat di dalam masjid, lebih-lebih di
sof awal, keluar masjid duluan sebelum berakhirnya wiridan. “Wani milih neng njero, kudu wani metu
burinan! Nek ora iso, kudune nunggu sak wenthoro disik!” tandasnya
mengingatkan. Ia yang mendengar sindirannya Salamun itu, hanya cengar-cengir karo mesem ngguyu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar